CERPEN : PESAN CINTA DALAM SEPOTONG ROTI.

Pesan Cinta Dalam Sepotong Roti

Sonia, seorang gadis biasa – biasa saja. Bulan depan usianya memasuki 30 tahun. Ini bukan perihal biasa baginya. Sebab, di usia sekian ia belum juga menikah. Padahal ia ingin menikah di usia 24 tahun yang lalu. Belum ada seorang lelaki yang mengambil hatinya untuk di bawa pulang. Kadang ia merasa iri dan cemburu kepada sahabat dan teman – temannya yang sudah menikah. Setiap malam ia selalu merenung akan hal itu. Jika ia pandang gemerlap bintang – bintang di langit, seolah bintang – bintang menertawakannya. Rembulan pun enggan memyinarkan ketentraman di hatinya.
Ia merasa malu kepada teman – teman kerjanya. Pagi itu ia mendapat tugas mengantar roti ke salah satu konsumennya. Ia harus mengantar roti pesanan pelanggan ke alamat rumahnya. Toko Roti tempat ia bekerja menerima pesan antar kepada konsumen. Jadi, semua karyawan - karyawati akan mengantarkan roti yang di pesan konsumen melalui telepon.
“Sonia, baru saja ada pelanggan yang memesan Roti. Alamatnya Perum Indah Permai No 14. jln. Cemapaka no. 05. Sanur Kauh. Nanti tolong di antar ya.” Ucap seorang pemuda tampan pemilik toko, usianya 5 tahun di atas Sonia. Pemuda itu masing membujang, entah kenapa alasanya. Padahal ia rupawan, juga mapan.
“Iya, Bos.” Sonia memanggilnya dengan sebutan Bos. Panggilan umum untuk mengormati atasan. Sonia bergegas menuju dapur roti, membuat roti sesuai pesanan. Begitu lihai ia meracik adonan roti dan membuatnya, pengalaman telah menjadikan ia terampil.
Sementara karyawan – karyawati yang lain nampak sudah mulai bekerja. Menata roti – roti di lemari yang sudah siap saji. Ada yang menata meja – meja untuk pelanggan yang biasa datang. Toko rotinya terkonsep layaknya cafe, tidak hanya melayani pesan antar. Namun, juga bisa di sajikan di tempat tersebut. Beberapa saat ia telah selesai membuat roti, ia kemas dengan bungkusan menarik khas toko roti. Ia segera beranjak keluar, menuju motor khusus yang di sediakan pihak toko untuk mengantar roti lengkap dengan sejenis tempat penyimpanan roti di jok belakang.
Di taruhnya roti pesanan pelanggan di lemari kecil jok motornya. Dengan mengenakan celana jean biru dan baju merah seragam toko, ia angkat kakinya menyela di atas motor. Helm pun di pakai. Ia nyetarter motornya hingga bunyi “brem – brem”. Kedua roda mulai berputar, ia jalankan motornya perlahan hingga semakin kencang. Menyusuri jalanan kurang lebih 5 km menuju alamat rumah sesuai yang di perintahkan si Bos. Tidak butuh waktu lama ia pun sampai di rumah mewah seorang pelanggan, tepat Perum Indah Permai no. 14.
“ting tung.”
Telunjuknya memencet bell rumah di depan pintu. Di bukalah pintu itu oleh seorang pemuda tampan, gagah, dengan rambut gondrong sebahu yang tegerai. Ia keheranan melihat sosok di depannya.
“Benar ini alamatnya Bapak Rio?” Ucapnya sebelum menyerahkan roti pesanan yang ia bopong di sisi kanan bahunya.
“Iya, benar. Nama saya Rio.”Pemuda itu menjawab dengan nada penuh wibawa. Matanya begitu indah menatap perempuan di depannya.
“Antar roti, ya?” Sambungnya bertanya.
“Iya.” Gadis bermuka oriental dengan rambut terkucir tertutup topi merah itu menyerahkan rotinya.
Pemuda tampan itu menerima dengan kedua tanganya. Lalu ia berikan uang sebagai gantinya.
“Terimkasih.” Ucap pemuda itu seraya tersenyum.
“Mari.” Sonia segera kembali ke toko roti tempat ia bekerja.
Di tengah perjalanan fokusnya terpecah belah, sapuan angin menggelayutkan pikirannya dalam dunia fantasi yang di sebut lamunan. Objek indah yang mengisi lamunannya ialah sosok pemuda tampan yang baru saja ia temui. Rentetan khayalan mulai menyusup benaknya. Hatinya pun berbunga – bunga, seolah baru saja ia mendapat undian berhadiah mobil. Pesona pemuda itu telah menyilaukan ruang gelap hatinya.
Ia kembali ke toko dengan wajah berseri – seri.
“Sonia! Tumben ni senyum – senyum sendiri. Ada apa?”
Tanya salah seorang temannya, Diana namanya.
“Aku baru saja mengantar roti, ke rumah seorang pangeran yang tampan.”
Jawabnya dengan pelan, menahan senyum riang. Kepalanya mengahdap ke atas seperti memandang langit – langit ruang toko. Tanganya ia angkat di depan dadanya seolah tengadah layaknya berdoa.
“Trus, trus.” Lanjut Diana penasaran.
“Kayaknya aku menyukainya.” Tukasnya yang masih belum menghentikan senyumnya.
“Wah, memangnya setampan apa orangnya? Hingga kamu terpesona dengannya.”
Diana mendekati Sonia, obrolan itu terlihat seru.
“Pokoknya dia tampan, gagah, berwibawa.”
“Jadi, penasaran nih. Kapan – kapan kalau dia pesan lagi. Biar aku aja yang antar.”
Kata Diana penasaran walaupun ia sudah menikah beberapa tahun yang lalu.
“Boleh – boleh, pasti kamu juga akan tersihir dengan ketampanannya.”
“Ciehh, lihat saja nanti.” Ketusnya bercanda. Ia meninggalkan Sonia dan melanjutkan ke tempat kerjanya.
Sementara Sonia kembali tercerbur dengan lamunan yang menyegarkan suasana hatinya pagi itu.
Pagi yang cerah, sorot matahari menyala – menyala menyela menerobos kaca jendela tokonya. Begitu indah seindah lamunan Sonia. Seolah ia punya harapan baru, akan cinta yang di tunggu – tunggu selama ini. Mengingat usianya yang bukan remaja lagi. Ia lantunkan doa pagi kepada angin yang mengelus kulitnya menyembur lembut dari pintu toko yang terbuka. Semoga cinta segera menghampirinya. Ia kemudian kembali bekerja seperti biasanya dengan semangat yang tidak biasanya. Tak terasa waktu terus beranjak, kali ini ia merasa waktu berjalan dengan cepat. Pekerjaannya pun terasa ringan, ia sangat menikmati
pekerjaan hari ini karena pengaruh suasana hatinya yang sedang ria. Beberapa pelanggan yang datang ke toko rotinya di pamerkan keramahan yang tulus darinya. Keramahan yang khas pada diri seorang Sonia. Entah berapa banyak orang yang sudah mendatangi toko roti itu. Nampak banyak. Kelihatanya banyak orang yang suka dengan roti – roti pemilik pemuda bujang itu. Toko roti ini sebenarnya tidak mewah, hanya saja ia menawarkan roti – roti beraneka rasa dengan olahan resep eropa. Bos toko roti ini pernah tinggal di Swedia bersama Kakeknya,dan banyak belajar tentang resep roti di sana. Sebelum ikut Ibunya pindah di Bali. Ia sendiri biasanya yang membuat resep adonan roti dan membuat aneka roti – roti yang ia namakan sendiri. Ia juga tak segan untuk mengajarkan kami tentang bagaimana membuat roti yang enak.
Pagi itu benar – benar ramai, hingga para karyawan dan karyawati begitu sibuk dengan pekerjaanya. Matahari terus memancarkan sinarnya, hingga tepat di atas kepala. Suasana pun perlahan berubah, yang tadinya ramai agak surut. Dan menyepi. Hanya satu atau dua orang saja yang datang.
“Sonia!”
“Iya, Bos.”
Bos memanggil dan menghampirinya. Kelihatan ia sangat tampan, parasnya yang blesteran kadang membuat hati Soni bergelora. Tapi, Sonia menyadari. Sudah beberapa tahun ia bekerja disini dan mengenal bos Maxime. Ia tidak menemukan sinyal – sinyal cinta dari bos Maxime untuknya. Padahal dari pertama ia kerja dan mengetahui bos Maxime masih bujang, ia berharap ada cinta untuknya.
“Kamu sudah makan siang?”
Tanyanya seraya membawa bungkusan berisi roti yang sudah di potong menjadi beberapa bagian.
“Belum, Bos”. Jawabnya malu – malu.
“Aku baru saja membuat roti. Silahkan dicicipi.”
Pemuda blesteran itu menawarkan roti kepada karyawannya dan menaruhnya di meja. Sonia pun mengambil satu potong untuk di makannya.
“Diana, Ida, Komang, Adrian! Kemarilah kalian!
Bos pemilik toko roti itu memanggil semua anak buahnya untuk berkumpul satu meja mencicipi makanan yang baru saja ia buat. Mereka berkumpul bercanda tawa. Terlihat sosok dermawan dan bijaksana terdapat dalam diri seorang Bos kepada bawahannya. Bahkan mereka terlihat rukun layaknya saudara dalam satu rumah. Tidak ada istilah Bos atau bawahan ketika sedang bercanda tawa. Momen seperti itu sering mereka lakukan di sela sibuk pekerjaanya. Jarum jam terus bergerak, siang pun berlalu, senja segera merayap. Tokonya hanya buka sampai pukul 06.00 sore. Karyawan maupun karyawati membereskan, menata perabot dalam toko hingga membersihkan setelah di gunakannya aktivitas seharian. Kemudian berkemas untuk pulang ke rumah masing – masing. Tinggalah Sonia yang masih di toko. Seraya menata tasnya. Bersamaan dengan bos Maxime yang pulangnya memang paling akhir di antara para karyawan – karyawatinya.
“Sonia, kamu pulang naik apa?”
“Taksi, Bos.”
“Ayo aku antar pulang, boleh?” Bos Maxime mengunci pintu - pintu ruang di sudut toko lalu mendekati Sonia yang masih merapikan dandanan di depan kaca dalam toko.
“Boleh, Bos. Tapi, apa tidak merepotkan?” Sonia membalasnya. Ini seperti jawaban sinyal – sinyal cinta yang ia tunggu – tunggu. Bertahun – tahun, baru kali ini Bos Maxime menawarkan untuk mengantarnya pulang.
Sebelum mereka bergegas meninggalkan toko, Bos Maxime mengeluarkan bungkusan lagi. Di bukalah bungkusan itu yang isinya tak lain adalah roti yang sudah terpotong menjadi beberapa bagian. Bos Maxime sengaja membuatnya untuk Sonia. Ia memanggil Sonia. Mereka berdua duduk di antara meja toko.
“Enak sekali rotinya. Bos memang jago membuatnya.” Ucap Sonia memuji Bos Maxime. Seraya terus mengunyah roti yang terlahap di mulutnya.
“Terimaksih, ini aku membuatnya spesial untukmu, Sonia.” Bos Maxime tersenyum tulus, menatap mata Sonia. Lesung pipi pemuda tampan di hadapanya
seketika menghanyutkan Sonia. Ia begitu senang. Keduanya saling menyunggingkan senyum bersamaan.
Senja telah menelan hari. Terlihat dari jendela kaca dalam toko, langit mengubah warna menjadi lembayung. Menampakkan keindahan mata yang memandang, Seindah mereka berdua yang sedang menikmati sepotong roti dengan senyuman. Senyum indah Bos Maxime benar – benar mengaduk – aduk emosi Sonia. Jantungnya berdebar – debar. Ia memang jatuh cinta kepada Bosnya. Namun, ia begitu pandai menyimpan rasa, bahkan memendamnya dalam hati. Sungguh, ia adalah perempuan yang hebat. Tak mudah baginya bermusuhan dengan hatinya sendiri. Senja melebur dengan perlahan di telan malam. Mereka beranjak dari meja dan kursi yang ia duduki meninggalkan toko dengan kebahagiaan.
Esoknya, seperi biasanya. Sonia melaksanakan aktivitas rutin setiap harinya. Kali ini, ia datang terlambat. Sebab, pagi ini ia bangun kesiangan gara – gara jam bekernya tak berbunyi. Jam beker berbentuk boneka teddy bear ukuran kecil yang menjadi alarm untuknya setiap bangun rupanya baterainya habis. Semalam ia lupa menggantinya dengan baterai yang baru.
Sampai toko, terlihat teman – temannya sudah beraktivitas, bersih – bersih, menata meja – meja, menyiapkan segala perabot untuk keperluan toko hari ini. Ia tidak melihat Bos Maxime yang biasanya sudah datang pagi – pagi. Ia langsung menuju ke ruang ganti khusus karyawati, di taruhhnya tas kecil yang ia bawa di meja ruang ganti. Ia menemukan setangkai bunga mawar merah dengan terselip kertas putih terlipat rapi di bawahnya. Ia melihat ada tulisan Dear Sonia. Itu berarti bunga untuk Sonia. Tangan kananya mengambil bunga itu. Di ciumnya bunga itu, matanya terpejam, bibir titpisnya tersenyum. Ia sangat senang. Di bukalah lipatan kertas putih yang tertera.
“Wahai bunga di tepi jalan, kau tampak mengagumkan pada mata yang memandang.
Harum mewangi mengiringi setiap nafasku.
Mekarmu sungguh indah berseri – seri.
Gemilang warnamu membuat hatiku damai.
Apakah aku boleh memetikmu?
Akan ku bawa pulang sebagai penghias hariku.”
Senyumnya menggebu jiwa kala ia membaca goresan tinta hitam pada kertas lipatan itu. Tulisanya sangat bagus, seperti tulisan seorang penulis. Segera ia melipatnya kembali dan menaruhnya di meja serta bunga yang masih di bopongnya. Cepat – cepat ia ganti baju, mengenakan seragam toko di iringi hati yang berbunga – bunga. Namun, ia masih menyimpan tanda tanya di pikirannya, siapakah yang menaruh bunga serta tulisan itu di mejanya? Karena tidak ada tanda pengenal dari pengirimnya. Dengan yakin hatinya berguman. “Ini pasti dari Bos Maxime.” Mimik bibirnya merenggang tertawa kecil. Lalu ia bergabung dengan teman – temannya.
“Bos Maxime belum datang?” Sonia bertanya pada Diana yang sedang menyiapkan bahan – bahan olahan pembuat roti di dapur.
“Oh, Sonia. Kamu baru datang ya.” Jawab Diana terkejut, ia menengok ke arah suara yang memanggilnya.
“Kayaknya tadi Bos Maxime ke sini, tapi entahlah lalu dia pergi lagi. Kenapa memangnya?” Lanjut Diana.
“Iya, maaf tadi aku bangun kesiangan. Oh, begitu ya. Tidak apa – apa. Tumben, biasanya kan dia selalu di sini kalau pagi.” Ucap Sonia keheranan.
“Mungkin saja Bos Maxime hari ini ada keperluan di luar, kita kan tidak tahu.”
Jawab Diana. Tanganya dengan cepat membuka laci – laci dapur. Mengeluarkan bahan – bahan.
Sonia memalingkan muka, ia semakin yakin kalau Bos Maxime lah yang menaruh bunga di mejanya. Dan isi tulisan itu adalah ungkapan hatinya kepadanya. Seketika hatinya gembira.
Hari semakin siang, ruangan toko roti mulai di sesaki para pelanggan. Terlihat sosok pemuda tampan memesan roti. Ia duduk menunggu di meja sudut ruangan. Parasnya putih, matanya indah, hidungnya bangir, dengan rambut hitam sebahu yang tergerai. Menjadi magnet pandangan mata perempuan di sekitarnya.
Termasuk Diana yang terbelalak kagum. Sesekali mereka bertatap mata. Mata pemuda itu seperti mata elang, begitu tajam menghanyutkan. Sonia tidak terlihat di situ karena ia sibuk di dapur mengolah roti. Diana menuju dapur menemui Sonia dan menceritakan pemuda tampan yang mengunjungi tokonya. Sonia terus meracik, mengolah roti, beberapa menit roti telah jadi. Ia sendiri yang menyajikan kepada pemuda tampan itu. Dengan bahasa tubuh yang grogi, tanganya serasa gemetar ketika menaruh roti di meja pemuda tampan itu. Matanya sesekali melirik pemandangan indah yang tepat di hadapanya. Pemuda itu hanya tersenyum. Sonia menyadari kalau pemuda tampan ini ialah pemuda yang kemarin pagi di datangi rumahnya karena memesan roti. Dan berhasil mencuri hatinya. Namun, tak meghiraukanya .Kali ini ia yakin. Bahwa Bos Maxime telah jatuh hati padannya. Ia segera kembali berjalan menuju dapur. Bersamaan dengan itu Bos Maxime muncul dari luar toko dan menyapa Sonia.
“Sonia!”
Bos Maxime mendekati Sonia. Tangan kirinya memegang tangan Sonia. Tangan kanannya di sembunyikan di belakang. Ia mengeluarkanya dengan rangkaian bunga yang indah kepada Sonia. Sonia tersenyum bahagia, tatapan kedua mata mereka berbinar – binar. Sonia menerima bunga pemberian Bos Maxime. Terlihat sosok pemuda tampan yang sedang menikmati roti di meja sudut ruangan memperhatikannya. Bos Maxime berlalu ke ruang dalam meninggalkan Sonia. Sementara Sonia masih tetap berdiri, ia menatap pemuda tampan yang sedang makan roti. Mereka saling tatap beberapa saat. Kali ini ia dilema dengan perasaanya sendiri. Ada dua pria tampan di hadapanya yang berhasil mencuri hatinya. Hatinya di selimuti kebimbangan.
“Sonia!”
Panggil Diana dari dapur. Panggilan Sonia mengalihkan matanya pada pemuda yang duduk jauh di sana. Ia bergegas menuju dapur dan bekerja kembali.
“Cie, di kasih bunga nih ye sama Bos Maxime.” Goda Diana seraya tertawa.
“Sonia hanya tersenyum malu campur bahagia.
“Oh iya, Sonia. Aku lupa menyampaikan sesuatu kepadamu.” Celetuk Adrian yang kebetulan di dapur itu juga membantu Diana.
“Huh, apa?” Tanya Sonia dengan santai.
“Tadi pagi – pagi ada yang titip bunga yang terselip kertas putih untukmu. Karena kamu belum datang aku taruh aja di mejamu.”
“Hah, bukannya Bos Maxime yang menaruhnya?” Sonia terkejut.
“Bukan. Seseorang pemuda tampan, rambutnya sebahu tergerai.”
Jelas Adrian sembari mengulet adonan roti yang akan di buatnya. Sementara Diana juga terlihat sibuk memasukkan roti – roti ke dalam penanak roti. Sonia pun seketika termenung mendengar ucapan yang di sampaikan teman kerjanya itu. Ia bingung. Siapa sebenarnya yang mengirim bunga dan seselip kertas tadi pagi. Ciri – ciri pengirim seperti pada sosok pemuda tampan yang memesan rotinya. Ia mulai berpikir apakah benar pemuda tampan itu yang mengirimnya? Di taruhnya rangkaian bunga yang di pegangnya di meja dapur. Ia bergegas menuju ruang depan, menuju tempat meja – meja pelanggan. Pandangannya tertuju pada meja pemuda tampan yang baru saja memesan roti. Namun, ia tidak mendapatinya. Pemuda itu sudah pergi. Ia mendekati meja. Melihat sepotong roti yang masih utuh, dari lima potongan yang tadi ia sajikan. Ia terdiam dan termenung dengan penuh tanda tanya cinta. Cinta itu memang misteri, bagaikan jalanan di gunung berkabut. Tiada mata yang mampu melihat dari kejauhan. Langkah demi langkah akan menyingkap kabut itu.

17 Februari 2016, penulis
Yuanto Ret

Postingan terkait:

    Belum ada tanggapan untuk "CERPEN : PESAN CINTA DALAM SEPOTONG ROTI."