Seorang gadis ayu
sedang duduk di kursi taman tersenyum riang. Rambutnya hitam panjang tergerai
di pangkuan, melambai – lambai kala angin membelai. Sungguh indah mempesona.
Mata siapa yang tak tersihir memandangnya. Begitu rupawan, bagaikan putri
khayangan. Seorang pemuda tampan memperhatikannya dari kejauhan, jantungnya
berdebar – debar, hatinya berdecak kagum akan pesona keindahan seorang perempuan yang tertangkap jala
matanya.
Terucaplah syair dari
mulutnya.
Ketika
raja siang menguak di ufuk timur.
Teranglah
alam seisi bumi makmur.
Begitu
indah hamparan semesta.
Seorang
Gadis mengerjap, matanya berbinar, bagaikan cahaya menembus cakrawala.
Seorang
pemuda terbelalak keheranan, tersihir
pesona di hadapannya.
Suara pemuda itu begitu
merdu, terdengar oleh Gadis ayu. Ia menoleh ke arah belakang. Melihat sosok
pemuda yang gagah dan tampan. Mereka saling bertatapan. Mata yang berseri –
seri nampak dari keduanya. Berhembus angin semilir mendesu bagaikan nyanyian
lagu cinta. Salinglah melempar senyum, senyum yang tulus bersahaja dari hati
mereka.
“Angela, apa yang kau
lihat?” Suara seorang laki – laki mengejutkan Gadis ayu itu yang masih terganga
tatapan mata dari seorang pemuda yang berdiri beberapa meter di belakangnya.
Laki – laki kekar berambut cepak pendek ini mendekati Gadis ayu itu. Sembari
menggayuh lentik jemarinya dan memegangnya. Seketika Gadis ayu itu memalingkan
pandanganya dari pemuda yang masih memandangnya dari kejauhan.
“Ehm, tidak. Aku tidak
melihat apa – apa. Ayo, aku ada jadwal mengajar di kampus.” Jawab Gadis ayu itu
dengan geragap.
Sementara seorang
pemuda yang sedari tadi memandangnya melangkahkan kakinya dari tempat itu.
Degup jantungnya yang berdebar – debar kian normal. Setiap ayunan langkahnya
menuai ribuan pertanyaan tentang Gadis yang baru saja ia lihat. Hatinya bergemuruh
seperti hujan badai yang menerpa. Mata yang terpana adalah pesona cinta yang
menembus lensa mata. Menyusup dalam tubuh, mengalir bersama darah, hingga
bersemayam dalam relung hatinya. Seorang pemuda tampan ini sepertinya sedang
jatuh cinta kepada Gadis ayu yang baru saja ia temui. Berhentilah ia di sebuah
rumah tua yang di tinggalinya. Di bukalah pintu kayu yang penuh ukiran – ukiran
yang indah. Seperti rumah seorang seniman. Terdengar bunyi gemeretak ketika
pintu itu di buka dan di tutup kembali dari dalam. Tampak ruang yang melindap,
hanya sorotan sinar matahari yang menembus kaca jendela sebagai penerangnya.
Terdapat buku – buku dan kertas berserak di salah satu meja dan kursi. Seperti
layaknya meja belajar seorang pelajar. Di sudut meja terdapat bunga mawar
buatan dari kertas beserta vasnya. Menjadi sisi keindahan dibalik serak
berantak di sekitarnya. Ia menuju dapur. Tanganya dengan cekatan mengambil
kaleng yang berisikan bubuk kopi murni, menyendoknya bersama gula untuk di
taruh dalam gelas cangkir bermotif bunga. Ia menyedu, mengaduknya. Di bawalah,
menaruhnya di atas meja menyela buku dan
kertas mengelilinginya. Asap putih yang menyembul dari cangkir itu menandakan
betapa panasnya kopi yang tersedu. Ia segera duduk di kursi sisi meja,
menyenderkan bahunya pada penyangga kursi. Pandanganya lurus kedepan, matanya
terfokus pada lukisan seorang putri yang sedang menari terpajang di dinding
tembok rumahnya. Ia termenung sejenak, kerjap matanya sangat pelan penuh makna
beriringan dengan sedikit senyum manisnya. Di ambilah pena yang berada tak jauh
dari tanganya, ia goreskan pada lembaran suci. Dengan indah pena itu
menggeliat, seolah menari – nari dan berbicara. Ia di kemudikan penghayatan
yang terbuka dalam dirinya. Larik demi larik, menjadi sebuah bait, bait demi
bait menjadi berbait, hingga menjadi sebuah syair yang indah kaya makna seorang
seniman. Begitu tulus, bukan buatan, mengalir dari hati yang paling dalam.
Sesekali ia membelai rambut panjangnya yang tergerai menghalangi pandangannya.
Tegukkan kopi yang tersaji di depannya
menjadi secangkir semangat dan inspirasi tetap membara. Tulisannya
sangat indah dan bagus, menguak ide – ide di dalam pikirannya. Ia begitu ahli
dalam membuat syair, sejak kecil ia menyukai sastra dan bahasa seperti menulis
syair. Syair baginya adalah kehidupan. Ia tidak bisa bernapas tanpa syair.
Hidupnya adalah bagian dari syairnya. Alam semesta adalah syair – syair Tuhan
yang menakjubkan. Tanpa henti jemarinya bergerak dengan lincahnya layaknya
mesin yang bergerak tanpa di pencet tombolnya untuk berhenti. Siang dan malam
adalah syairnya. Menulis karya satra adalah caranya untuk memaknai sebuah
kehidupan ini. Ruangan dalam rumah berukuran sedang ini memang sengaja ia buat
tampak temaram, untuk menguak imajinasi yang bergelayutan di benaknya. Ia
tinggal sendiri, orang tuanya tinggal di kota lain. Ia mengontrak rumah di
pinggiran kota, bisa di katakan pedesaan. Bukan tanpa alasan, namun untuk
menikmati keindahan. Suasana yang hening, pohon – pohon besar bertengger di
sela jalan, menjadikan rumah – rumah yang berjajar di desanya begitu teduh,
sejuk, segar.
“Tok tok tok!”
Terdengar suara seperti
ada yang mengetuk pintu rumahnya.
Seketika ia
menghentikan tarian lincah penanya. Dengan segera pemuda tampan itu membuka
pintunya. Terdengar suara gemeretak saat di buka.
“Oh, kau, Rin. Aku
pikir siapa.” Ucap pemuda itu dengan pelan.
Pemuda itu mengajaknya
masuk ke dalam rumahnya. Kembali ke mejanya dan menyahut penanya, menyelipkan
di sela jemarinya. Sementara Gadis berambut potongan model bob mengikutinya dan duduk di kursi yang berada di sisi pemuda itu.
“Untuk apa kau kemari,
Rin? Bukankah Ayahmu telah melarangmu menemuiku?”
“Ayah memang melarangku
untuk menemuimu. Tapi, cintaku tidak bisa melarangnya. Seperti itu kata yang
kau ajarkan kepadaku kan?” Gadis mungil berkulit putih itu menatap mata pemuda
di depannya seraya tersenyum pelit. Pemuda yang menjadi belahan jiwanya sejak
empat tahun yang lalu. Namun, Ayahnya menentangnya karena Pemuda itu tidak
jelas pekerjaannya, bahkan beda strata dengan keluarga gadis itu.
Pemuda itu menatap diam. Hanya terdengar lirih hembusan
nafas dari pemuda itu.
“Aku akan tetap
mencintaimu. Walau Ayah tidak merestui hubungan ini. Lakukan sesuatu jika
cintamu besar kepadaku.” Imbuh Gadis itu. Ia berdiri mendekati tubuh gagah
pemuda tampan dari belakangnya. Ia senderkan dagu indahnya di pundak pemuda itu.
Tangan kirinnya ia lingkarkan membelai lehernya.Tangan kanannya merayuk tangan
pemuda itu hingga terlepas pena yang terselip di jarinya. Gadis ini tampak
anteng, meski kadang menunjukkan tingkah manja. Pemuda itu menolehnya, memberi
kecupan pada bibir Gadis itu. Cinta itu memang indah seindah kecupan – kecupan
mereka. Hasrat cinta mulai menggelora, di atas dua hati yang di mabuk
asmara. Pemuda tampan itu menggeser
tubuh mungil Gadis yang memeluknya, mendudukkan bokong padat gadis itu di
pangkuannya hingga dres yang dikenakan
tersingkap kelihatan paha yang putih mulus sangatlah indah dan mencium bibir
titpisnya berkali – kali. Nampak bibir yang merah merona, sungguh jelita Gadis
itu. Ia tidak peduli helai rambutnya tergerai di pipinya. Mereka begitu syahdu,
larut dalam kenikmatan cinta. Terdengar suara degup jantung seperti kuda berlari
dan desahan nafas yang seolah terengah dari keduanya. Beberapa saat mereka
berciuman. Pemuda itu membiarkan Gadis itu duduk di pangkuannya sembari menyenderkan
kepala di dadanya. Tanganya membelai rambut panjangnya untuk di rapikan. Ia
mengambil pena yang lunglai di meja dan kembali menggeliat menuangkan rasa. Beberapa
jam berlalu ia menulis hingga lembaran – demi lembaran penuh dengan goresan
tinta hitam yang ia kemudikan. Sementara Gadis yang duduk manja di pangkuannya
begitu setia menamaninya. Ia memecah kesunyian di antara mereka.
“Kau menulis syair
untukku?” Tanya Gadis itu.
“Iya. Aku menulisnya
untukmu. Untuk seorang putri dengan cinta sucinya kepada seorang pemuda.” Jawab
pemuda itu seraya tersenyum. Keduanya tersenyum kecil.
“ini sudah jam sebelas
siang. Aku harus pulang, Ayah pasti mencariku.” Tukas Gadis itu. Ia mulai
bangun dari pangkuan pemuda yang di cintainya itu. Kemudian berdiri di
sebelahnya.
“Tahukah kau, semua
yang aku tulis ini adalah tentangmu. Aku pasti melakukan sesuatu untukmu.” Ucap
pemuda itu.
Tangan Gadis itu
memegang lengan kanannya, menghentikan gerakan pena yang bermadu kasih dengan
kertas putih. Dengan cepat bibirnya mengecup kening pemuda yang masih duduk
terdiam itu. Kemudian ia berlalu, meninggalkan pemuda itu. Di bukalah pintu
rumah dan di tutupnya dari luar. Terdengar suara langkah sepatunya dan
gemeretak pintu.
Hari telah siang.
Pemuda itu masih duduk terdiam di meja tulisnya. Di temani buku – buku dan
kertas berserak. Ingatannya mulai menyusup di kepalanya, mengajaknya berjalan
mundur beberapa waktu lalu tentang ucapan Ayah Karina. Bahwa pemuda yang
pekerjaannya hanya diam termenung berhari – hari adalah pemuda yang malas. Sama
halnya membuang waktu mudanya dengan sia – sia. Apalagi berniat mempersunting
Karina, putrinya. Itu hanya akan menjadi lelucon baginya. Ayah Karina yang
seorang Perwira Tentara Nasional Indonesia memanglah punya sifat yang keras,
disiplin, dari sudut pandangnya hidup
itu harus punya tujuan yang jelas. Tidak boleh bermalas – malas. Kesuksesan
adalah milik mereka yang mau bekerja keras. Suara – suara itu kian terdengar
semakin jelas di telinga pemuda tampan itu. Cintanya tak semulus paha Karina
yang terlihat indah. Ia mengerti bahwa apa yang di ucapkan Ayah Karina
memanglah benar. Namun, ia tidak sepakat dengan pemikiran Ayah Karina. Baginya,
menulis memang bukanlah pekerjaan melainkan untuk berekspresi, menuangkan buah
pikiran yang berjubel di otaknya. Seringkali
ia mendapat honor karena karya – karyanya seperti buku antologi puisi, antologi
cerpen, bahkan novel hingga buku – buku yang lain dari buah pemikirannya.
Berulang kali naskah yang ia kirim ke beberapa penerbit di terima dan menjadi
favorit kalangan pembaca. Uang yang masuk di rekeningnya tidaklah berarti
baginya, menyelesaikan satu karya sastra sangatlah berharga dari bagian
hidupnya. Menjadi kepuasan batin yang tak ternilai harganya. Uang, akan
mengalir seiring dengan kepuasan orang lain yang menikmatinya, membacanya,
mendengarkan, merasakan hingga melakoninya. Pemikiran – pemikiran yang nyleneh dan menyimpang kerap menjadikan
pemuda ini di remehkan bahkan di lecehkan oleh beberapa masyarakat di
sekitarnya termasuk juga Ayah Karina. Jiwa seni yang jumbuh dalam dirinya tak
mau jauh dari dunianya. Ia tak pernah gemar berhenti berkarya. Ia selalu ingin
membuat orang lain bahwa mereka semua berada di lingkungan seni, juga merasakan
bersama. Dunia adalah seni baginya, yang akan membuat dunia ini indah seindah dalam
pikirannya. Terkadang, ia tak jauh berbeda dengan orang gila. Itu karena
pemikirannya tak selogis orang waras di masyarakat umumnya. Namun, karena
pemikirannya itu, ia dapat menciptakan hal – hal gila yang tidak terpikirkan
oleh banyak orang tersebut. Terkadang, ia tidak peduli dengan keadaan dirinya,
penampilannya, bajunya, celananya, bahkan hingga tidak makan, memikirkan
karyanya yang hendak usai. Hanya ingin memberi tahu bahwa ada dunia lain yang
berada di alam bawah sadar manusia, yang selama ini tak banyak di ketahui dan
dipergunakan manusia. Ayah Karina tidak bisa memandangnya lebih terbuka
kepadanya. Ia tidak merestui hubungan asmaranya dengan Putri keduanya itu.
Beberapa jam ia termenung. Ia beranjak dari kursinya, menaruh pena kesayangannya
di meja. Menyeruput kopi hitamnya
sebelum meninggalkan rumah yang melindap untuk pergi ke sebuah toko buku. Tanpa
membawa barang apa – apa, hanya kemeja kotak – kotak berwarna biru dan celana
jean yang membalut tubuhnya. Tibalah ia di sebuah toko buku terbesar di
pinggiran kota itu. Matanya tertuju pada rak buku yang terbaru. Beberapa bulan
yang lalu ia baru saja menyelesaikan sebuah novel dengan judul Goresan Pena Untuk Dunia. Menceritakan
kisah seorang seniman dengan liku – liku cinta dan kehidupannya yang sulit, dan
akhirnya berhasil menggubah dunia melalui karya – karyanya. Ia berniat membeli
buku itu, karena buku yang di kasih dari penerbit sudah ia berikan kepada
sahabat – sahabatnya. Ia melihat satu buku itu bertengger di rak buku best seller. Namun, sayang, belum juga
ia mengambilnya, seorang Gadis ayu telah mengambilnya terlebih dahulu. Bukunya
memang tergolong laris, dalam kurun waktu beberapa minggu, semua buku – bukunya
ludes di serbu pembeli. Ia hanya memandangnya di sisi Gadis itu. Perempuan itu
menolehnya dan melihat wajahnya yang mengkerut. Tak disangka, ia adalah Gadis
yang di taman kota pagi itu. Seketika wajahnya kembali mengembang terpukau dengan
pesona kecantikan Gadis di hadapannya itu.
“Kau membeli buku itu?”
Tanya Pemuda itu dengan lembut.
“Iya, aku membelinya.”
Gadis itu menjawabnya.
“kenapa? kau ingin
membelinya?” Gadis itu balik bertanya.
“Tidak, aku tidak
membelinya.” Ucap pemuda tampan itu segera meninggalkan tempat itu.
“Eh, tunggu – tunggu!”
Kata Gadis itu dengan nada tinggi. Ia berjalan beberapa langkah mendekati
pemuda itu. Pemuda tampan menghentikan langkahnya mendengar ucapan Gadis itu.
Kedua mata mereka beradu pandang.
“Bukankah kau yang
mengucap syair di taman tadi pagi”?
“Iya.” Jawab pemuda itu
singkat.
“Kenapa kau mengucapkan
syair untukku?” Tanya Gadis itu.
“Aku memang suka
membuat syair – syair, ia adalah bentuk penyampaian apa yang ku lihat, apa yang
ku dengar, dan apa yang ku rasa terhadap dunia.” Pemuda itu menjelaskan. Lalu meninggalkan
Gadis ayu itu. Menuju pintu keluar toko. Sementara Gadis itu menuju kasir untuk
membayar buku yang di belinya. Segera ia menyusul pemuda yang baru saja ngobrol
dengannya, seolah di hantui rasa penasaran dengan pemuda tampan itu. Ia
langkahkan dengan cepat ayunan kakinya mengejar pemuda yang juga berjalan cepat
meninggalkan toko buku.
“Hey!” Teriak Gadis ayu
kepada pemuda yang berjalan agak jauh di depannya.
Pemuda itu menolehnya
dan mengehentikan langkahnya.
“Ada apa?” Tanya pemuda
itu.
“Ini, ambilah. Kau
pasti ingin membeli buku ini kan?” Ucap Gadis itu. Tangan kanannya menyodorkan
buku yang baru saja ia beli.
“Tidak, bacalah saja.
Aku bisa membelinya di toko buku yang lain.” Balasnya dengan pelan dan santun.
Menunjukkan sosok pemuda yang berbudi pekerti.
Gadis itu masih
tercengang dengan ucapan pemuda di hadapannya. Ia kagum dengan tuturnya yang
lembut dan bijaksana.
“Angela! Apa yang kau
lakukan disini!? Sergah seorang Bapak berseragam rapi, dengan menggunakan
sepatu pantopel hitam mengkilap di seberang jalan, sembari mendekati keduanya
yang sedang berdiri di trotoar depan toko berjajar yang riuh dengan lalu lalang
pejalan kaki.
“Ayah?” Bibir Gadis
cantik itu berkata lemah, seoalah kaget dengan kehadiran Ayahnya.
“Angela, bukanya kau
mengajar siang ini? Kenapa disini?” Ucap seorang Bapak yang terlihat gagah
walaupun usianya sudah paruh baya.
“Iya, Ayah, Angela baru
saja membeli buku.” Jawab Gadis ayu yang namanya ternyata Angela.
“Rupanya kau, Dio! Apa
maksudmu menemui Kakaknya Karina? Apa yang kau inginkan?” Ucap Bapak itu yang
tak lain adalah Ayahnya Karina.
Pemuda tampan itu hanya
menunduk diam, tak berani bertatap mata dengan Bapak berbadan tegap di depannya.
Ia tak menyangka bahwa Gadis yang ia temui adalah Kakaknya Karina, ia memang
tak pernah tahu, yang ia dengar dari Karina, kakaknya sedang menyelesaikan
kuliah S2 di Jakarta dan tidak pernah pulang ke rumah di kota Malang. Ia sangat terkejut.
“Maaf, Pak. Saya tidak
ada maksud apa – apa. Kami hanya tidak sengaja bertemu di toko buku.” Jawab
pemuda itu dengan penuh sopan.
“Baiklah, saya mohon
permisi. Selamat siang.” Ucap pemuda itu seraya meninggalkan Bapak yang
mengenakan topi berwarna hitam itu bersama putrinya.
“Ayah, siapa dia itu,
Yah? Kok Ayah seperti sudah kenal?” Tanya Gadis ayu itu penasaran.
“Ia dulu mendekati
Karina, adikmu. Tapi Ayah melarangnya.” Tuturnya pelan.
“Kenapa Ayah
melarangnya?”
“Setahu Ayah ia adalah
pemuda pemalas, ia tidak bekerja seperti halnya pemuda – pemuda yang lain.”
Jelas Bapak yang juga berkumis tebal itu.
“Buku apa yang kau beli?
Coba Lihat.” Tanya Bapak itu kepada putrinya. Tangan kanannya memegang buku
tebal berwarna putih kolaborasi biru, tertera judul tulisan Goresan Pena Untuk Dunia beserta
penulisnya Dio Permana.
“Dio Permana?” Bapak
Paruh baya itu mulai bertanya - tanya dengan nama yang ia baca pada sampul buku
itu.
“Dio Permana itu adalah
penulis hebat, Ayah. Karya – karyanya sangat di gemari para pembaca karena
menginspirasi.” Terang Putri cantik di sebelahnya itu.
Bapak bertubuh gagah
itu terdiam sesaat sambil bergumam.
“Mana mungkin Dio
seorang penulis hebat.” Pikirannya
semakin di penuhi tanda tanya tentang sosok pemuda tampan yang ia remehkan
bahkan ia lecehkan karena kehidupannya yang tidak jelas dan seolah menjadi
misteri.
Belum ada tanggapan untuk "Goresan Pena"
Posting Komentar