Keringat Kasih
“Ibu, aku akan terus menjual kue – kue olahan dari singkong ini ya.” Ucapku kepada Ibu.
Kami sedang duduk di bangku dapur seraya membungkus kue – kue yang akan kami nanak.
“Iya, Anum. Ibu akan membantumu.” Tutur Ibu tersenyum kepadaku.
Aku tahu sebenarnya Ibu tidak tega melihatku melakukan ini. Tapi bagaimana lagi, keadaan ekonomi telah merenggut cita – citaku untuk bersekolah. Kehidupann kami yang serba kekurangan bisa membuat kami mati kelaparan jika kami tak berjuang.
“ Ibu, kenapa kita hidup seperti ini. Aku merasa Tuhan itu tidak adil kepada kita. Mereka yang hidup mewah, mapan, seenaknya saja kepada orang yang jauh di bawah mereka, Bu. Dengan tinggi hati mereka merendahkan, bahkan menghina tanpa di jejali rasa bersalah kepada orang – orang di bawah mereka. Mereka yang banyak harta seharusnya bisa berbaik hati menolong orang seperti kita.” Tukas ku dengan pelan.
Jemariku begitu piawai membungkus adonan parutan singkong mentah dan membungkusnya dengan daun pisang sebesar kepalan tangan. Di dalamnya ada gula merah sebagai pemanis rasa. Kue buatanku bukanlah kue mahal. Masyarakat di desa kami menamakan jemblem, lemet, iwel – iwel. Bahannya saja hanya dari dua bahan utama, yaitu singkong kebun sebagai bahan dasar. Gula merah sebagai bahan tambahan. Hanya itu. Sangat sederhana, sesederhana kehidupan kami pada sebuah rumah berukuran kecil. Dengan menggunakan beberapa pilar dari bambu, dindingnnya juga terbuat dari bambu yang telah di anyam. Namun, atapnya sudah menggunakan genteng. Terlihat beberapa di antaranya ada yang bolong, ketika hujan turun percikan air menerobos masuk ke dalam. Ayah belum sempat menggantinya.
“Anum, putriku. Tuhan itu Maha adil. Ia menciptakan alam seisinya sesuai dengan porsinya. Termasuk orang yang kaya maupun orang seperti kita, Tuhan tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya.” Jawab Ibunya menjelaskan dengan arif. Sosok Ibu yang berhati lembut penuh perhatian. Ibu yang
terlihat masih muda dan ayu itu menyunggingkan senyum jelita kepada putrinya. Adonan – adonan kue hampir habis di pancinya, berubah menjadi kepalan – kepalan berbungkus daun pisang yang siap untuk di nanak.
“ Mari, Anum! Masukkan semuanya ke dalam dandang.” Suruh Ibu kepadaku.
“Iya, Bu.” Jawabku singkat.
Segeralah aku memasukkan semua adonan yang terbungkus daun pisang ke dalam penanak yang sudah berisikan air mendidih dengan penyekat di atasnya. Aku meletakkan di atas penyekatnya. Sementara Ibu terlihat membereskan dan membersihkan meja dapur yang usai kami kotori dengan serak adonan maupun suiran daun pisang. Seraya menunggu adonan yang kami nanak menjadi masak, Ibu membuatkanku teh hangat dan kami hanya duduk di bangku dapur. Sesekali aku memasukkan kayu bakar ke sebuah tungku agar apinya tidak padam.
Aku tidak melihat Ayah pagi ini. Entah perginya kemana. Kata Ibu, Ayah pergi ke kebun untuk mencari kayu bakar sebelum aku bangun. Pagi ini aku memang bangun agak kesiangan. Aku tak mendengar kicauan burung yang merdu seperti pagi biasanya. Walaupun aku tak bangun sepagi ketika aku masih bersekolah dulu. Karena perjalanan menuju sekolahan yang jauh membutuhkan waktu yang cukup lama.
Beberapa waktu berlalu, aku membuka penutup penanak. Aku mengambilnya satu kue yang menyemburkan kepulan asap. Ku buka pembungkusnya dengan hati – hati karena luar biasa panas, aku harus mencicipinya untuk mengetahui bahwa adonan kue – kue itu benar – benar masak. Rupanya kue – kue itu sudah masak, aku memadamkan api yang membara di tunkgu, ku angkatlah penanak ke sisi tungku. Ku buka penutupnya, membiarkanya beberapa saat agar kue – kue itu meniris karena uap air yang meyemburnya ketika di tanak. Ku lihat Ibu menyiapkan loyang untuk wadah kue yang sebentar lagi siap ku jajankan keliling rumah di desa kami. Begitu balutan uap mengering, aku segera memindahkannya ke wadah yang telah di siapkan Ibu. Aku susun dan tata rapi dengan penutup daun pisang di atasnya. Agar terhindar dari debu – debu yang terhempas angin ketika di jalan. Semua kue – kue sudah siap untuk di jajakan. Aku segera menyiapkan air
putih di dalam botol berukuran sedang, aku masukkan ke dalam tas kecil. Untuk bekal dahaga ketika di jalan. Ku boponglah loyang yang berisikan kue – kue buatanku dengan Ibu. Aku beranjak keluar rumah.
“ Aku berangkat dulu, Bu!” Pamitku seraya mencium telapak tangan Ibu.
“ Iya, hati – hati, Anum. “ Tuturnya dengan lembut.
Langit berhias awan – awan sirus hingga cakrawala biru tampak elok, menyejukkan mata. Angin semilir mengayunkan dedaunan. Matahari tidak terlalu terik, angin lembut mendesu mengelus kulit.
Aku menapakkan kakiku di jalan berdebu. Langkah demi langkah ku ayunkan menyusuri jalan melewati rumah ke rumah. Menuju dusun sebelah.
“ Kue singkong!”
“ Kue singkong!”
Begitu teriakku menjajakan kue yang aku bopong di sisi badanku. Dengan nada keras dan tinggi berharap ada orang yang mendengar dan membelinya.
Aku terus berjalan, rasanya sudah cukup jauh aku melangkah. Tapi belum juga ada orang yang menghampiriku untuk membeli kue ku.
Aku berhenti di bawah sebuah pohon tak begitu besar untuk berteduh beberapa saat. Ku minumlah air yang telah aku siapkan tadi. Matahari mulai terik, panas sudah terasa menyengat kulit lembutku. Ku lihat wajahku sudah mulai menguapkan peluh. Segelintir bening mengalir dari dahi ke pipiku. Sesekali aku menyekanya dengan handuk kecil yang aku bawa.
Tak lama ada sekumpulan anak seusiaku di depan sana. Aku memperhatikannya. Ia semakin mendekat dan menghampiriku.
“ Kamu bawa apa?” Tanya salah seorang anak laki - laki kepadaku.
“ Kue dari singkong, masih hangat.” Jawabku seraya membuka penutup loyang. Memperlihatkan kue – kue yang ku jual kepada mereka.
“Berapa satunya?” Tanya anak itu lagi.
“Lima ratus rupiah”.
“Andi, buat apa kamu beli kue seperti itu? Ayolah, kita pulang saja. Itu kue murahan.” Sahut salah seorang perempuan di antara sekumpulan anak itu.
“Sebentar, Rini. Aku ingin membeli kue ini. Sepertinya masih hangat dan enak.” Ucap laki – laki di sisinya. Tangannya merayuk kue dalam loyang, ia merasakan kalau kuenya memang masih hangat. Ia mengambil empat kue. Lalu mengambil selembaran uang dua ribuan dari kantongnya dan di julurkan kepadaku.
“Terimaksih.” Ucapaku kepadanya. Mereka berlalu. Aku pun segera bangun dan melanjutkan berkeliling mengitari sebagian desaku.
“Kue singkong!”
“Kue singkong!”
Aku berteriak kembali seraya berjalan.
“kue!”
Panggil salah seoarang dari rumah terlihat agak jauh dari sisi kananku. Aku menuju suara yang memanggilku. Aku melihat ini rumah besar, halamanya luas. Aku masuk menerobos pintu gerbang rumah itu.
Rupanya Ibu paruh baya yang memanggilku.
“Ini kue singkong?”
“Iya, Bu.” Jawabku singkat. Ku sibakkan daun pisang yang menutup kue – kue dalam loyang.
“Saya membeli lima ya, saya suka sekali dengan lemet. Sudah lama saya tidak mencicipi makanan olahan dari singkong ini.” Tuturnya dengan senyum ria kepadaku.
“Iya, Bu.” Ku ambilah lima kue lemet, aku masukkan dalam kantong plastik. Aku berikan kepada Ibu itu, ia membalasnya dengan uang bernilai sepuluh ribu rupiah.
“Maaf, Bu. Saya belum punya uang untuk kembaliannya.” Kataku. Kedua mataku memandang lembaran uang sepuluh ribuan itu.
“Ambilah. Aku memberikannya untukmu.” Ujar Ibu paruh baya itu pelan.
“Tapi, Bu.”
“Tidak apa – apa, Ibu ikhlas memberikan kepadamu.”
“Ambilah, masukkan dalam kantongmu.” Perintah Ibu itu. Kerjap matanya begitu tulus, senyumannya adalah senyuman yang lembut.
Aku masih menatap Ibu itu. Aku merasa tidak enak hati.
“ Terimakasih, Bu.” Ucapku. Aku menutup kembali daun pisang di atas loyang ku. Aku beranjak beberapa langkah di halaman rumahnya.
“Siapa namamu, Nak?” Tanyanya dengan nada meninggi.
Aku segera menolehnya.
“Anum, Bu!”
“Baiklah, hati – hati ya, Anum!” Teriaknya. Seraya menyunggingkan senyum kepadaku. Ku balas senyumannya. Ku anggukkan kepalaku.
Ku balikkan badanku lagi. Ku tinggalkan rumah itu, aku berjalan menyusuri jalan – jalan kembali.
Kali ini matahari benar – benar terik. Sinarnya begitu menyengat kulitku. Angin yang menyambarku tak mampu menyegarkan tubuhku yang kepanasan. Aku terus berjalan dengan berlumur keringat kasih. Dengan membopong loyang di sisi kananku.
Entah, berapa jauh aku berjalan, aku merasa lelah. Cuaca panas membuatku kehilangan cairan dan menjadikanku letih. Aku berniat untuk mencari tempat untuk berteduh. Tapi, aku belum melihat tempat yang kiranya enak untuk menyenderkan bahuku. Jalanan tampak begitu sepi, hanya satu atau dua kendaraan saja yang lewat. Pandanganku mulai tampak samar. Aku sungguh merasa lelah. Namun, aku tetap memaksa kakiku ini untuk melangkah.
Aku telah menemukan sebuah pos kosong. Aku hentikan langkahku dan duduk di bilik kecil. Ku taruhlah loyangku di ubin, sembari menyeka wajahku yang di basahi peluh. Pandanganku memandang jauh ke jalan. Ku lihat beberapa orang berlalu lalang. Hatiku merasa sendu ketika aku melihat anak seusiaku berseragam sekolah yang lewat. Pikiranku mulai terhanyut beberapa bulan silam. Ketika aku menanggalkan seragam sekolahku karena Ayah Ibuku tak cukup biaya untuk menyekolahkanku. Cita – citaku bak layang – layang putus. Aku hanya bisa memandang ia melayang – layang terbawa angin, aku ingin mengejarnya tapi aku tak tahu jalan, hutan itu sangatlah lebat jika ku terjang. Tapi biar bagaimanapun, aku harus tetap berbakti kepada mereka. Aku tidak akan memaksa mereka untuk menyekolahkanku. Aku sadar dengan keadaan mereka. Aku berpikir, mereka sebenarnya juga tidak ingin melihatku seperti ini. Yang di katakana Ibu pastilah benar, Tuhan tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya.
Beberapa saat aku berteduh, cukuplah mengurangi rasa lelah tubuhku. Aku ingin melanjutkan perjalananku berjualan. Tubuhku siap bermandikan keringat kasih yang tulus dari Sang Maha mulia. Menghadapi cobaan demi cobaan, hati ini begitu sabar dan bijaksana.
Aku membangunkan tubuhku, ku angkatlah loyangku yang berada di ubin bilik pos.
Datanglah dua perempuan mengejutkanku.
“Hei! Siapa namamu?”
Tanya salah seorang perempuan di depanku. Pandangannya sinis, seolah ia tak suka denganku.
“Namaku, Anum. Rumahku terletak di dusun sebelah.” Jawabku dengan santun.
“Apa kamu mau membeli kue ku?” Lanjutku.
“Kue? Kue murahan seperti itu?
Hahaha… aku akan sakit perut jika memakan kue mu.” Ketusnya. Perempuan yang satunya ikut menertawakanku bersamaan.
Ku lihat salah seorang perempuan itu ialah perempuan yang bersama seorang laki – laki yang membeli kue ku tadi pagi. Ia juga mengatakan hal yang sama, kue ku kue murahan.
Aku hanya diam, kepalaku mengangguk, tangan kananku membopong loyang berisikan kue – kue yang ku jual.
“Lalu, mau kamu apa?” Tanyaku singkat.
“Kamu mau tahu, mau kita apa? Nih, lihat! Ujarnya dengan nada keras.
Tangannya dengan cepat menyerobot pada loyang yang ku bopong, tangannya berhasil merebutnya, loyangku terlepas dari peganganku. Seketika ia mengoyakkan, membalikkan loyang yang berisikan kue – kue hingga jatuh berserak ke tanah.
“Hahaha, itu yang kami mau!” Mereka tertawa senang seraya meninggalkanku.
Melihat apa yang telah terjadi, hatiku terpukul. Apa sebenarnya salahku kepada mereka hingga mereka melakukan ini kepadaku. Aku sungguh tak mengerti. Buliran air mata perlahan menetes di pipiku. Kesedihan menyusup hatiku. Aku menjual kue olahan singkong, dari pagi hingga siang, menyusuri jalan, keliling desa, aku hanya ingin mengumpulkan uang untuk bisa kembali bersekolah. Tapi, ternyata tidak mudah. Ada saja orang – orang yang tidak suka denganku.
Segera aku memungut kue – kue yang jatuh terserak di tanah dan menaruhnya dalam loyang. Siapa yang mau jika kue – kue itu sudah jatuh di tanah. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan menceritakannya kepada Ibu, menurutku hanya Ibu yang mengerti dengan ku, ia sangat mengerti perasaanku.
Belum ada tanggapan untuk "ANUM II (Keringat Kasih)"
Posting Komentar