Cerpen: Anum


Anum


Kicau burung di pagi hari terdengar samar – samar di telingaku. Kubuka jendela kamarku. Mataku memandang jauh terbentang ladang hijau yang masih berbalut kabut. Semburat warna jingga mulai menampakkan keindahan di langit. Rumput dan pepohonan terbasuh embun. Membuat sejuk udara yang aku hirup. Saat itulah kurasakan kedamaian yang sempurna.

”Ayah, ibu! Aku berangkat!”

Kata itu yang selalu aku ucapkan setiap pagi ketika pamit bersekolah seraya mencium tangan mereka. Kususuri jalan setapak. Tidak begitu lebar. Panjang dan berliku. Kalau musim hujan akan terasa lebih sulit. Tanahnya becek dan licin. Bahkan jika banjir aku terpaksa tidak masuk sekolah. Karena jembatan penghubung desaku dan jalan menuju sekolah teremdam air. Berbahaya jika di lewati. Itulah perjuanganku untuk meraih sebuah cita – citaku.
Cita – cita yang sederhana. Betapa sulitnya aku untuk mendapatkan pendidikan di sekolah dasar. Desaku memang terpencil. Hanya anak – anak yang punya cita – cita dan semangat tinggi yang mau melakukannya. Termasuk aku. Aku ingin bersekolah yang tinggi. Agar kelak aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, mapan dan keluar dari garis kemiskinan. Ayah ibuku hanya bekerja sebagai buruh serabutan. Teman – temanku selalu mengejekku dan menghinaku.
Begitu rendahkah aku di mata mereka? Kenapa mereka melakukan itu kepadaku? Seragam dan tasku memang lusuh dan warnanya kusam. Ini seragam satu – satunya yang aku punya. Sepatu hitam yang di beli ayah 4 tahun lalu inilah yang menemani langkahku setiap hari. Walaupun ada satu lubang kecil di sisi kanan, tepat di jempol kakiku. Aku tidak peduli.

Begitu aku sampai di pintu sekolah, suara – suara yang menusuk hatiku mulai terdengar dari mulut teman – temanku.

”Hey, lihat teman! Perempuan gembel dan bau ini tiba di dekolah. Tutup hidung kalian! Daripada kita semua pingsan. Haha.”

Seru Rani kepada teman – temanya sembari mengangkat tangannya dan meletakkan di hidungnya. Aku hanya terdiam. Perjalanan yang begitu jauh, tidak jarang membuatku meneteskan peluh hingga membasahi sebagian seragamku. Mereka tidak tahu bagaimana perjuangan kerasku. Rumah mereka berada tidak jauh dari sekolahan. Mereka juga anak dari keluarga yang berada. Mereka tidak tahu betapa sulitnya aku untuk tba di sekolah ini.

”Anum, dengar ya! Semua anak – anak di sini membeci kamu. Kami tidak mau berteman dengan gembel yang bau seperti kamu. Kamu juga miskin. Lihat saja, baju putihmu warnanya kusam, bahkan sepatumu sudah bolong, memalukan sekali. Seharusnya kamu pulang saja dan tidak usah bersekolah.” Kata Rani menatapku tajam.

Penampilanku memang berbeda dari Rani maupun teman – teman yang lain. Seragam mereka bersih dan rapi. Rani memang di kenal sombong di sekolahan ini. Aku hanya diam dengan kepala menunduk. Seketika kedua mataku berkaca – kaca, mengisyaratkan kepedihan yang teramat dalam.
Begitu hinakah aku di hadapan mereka? Aku merasa Tuhan tidak adil kepadaku. Kenapa mereka selalu merendahkan orang miskin sepertiku ini? Andai bisa kudengar, hatiku ini menjertit kesakitan dengan keadaan seperti ini. Aku merasa dunia ini tak membutuhkanku. Aku merasa tersisih, terasingkan. Mendengar ejekkan dan hinaan mereka setiap hari semangatku yang menyala – nyala seakan meredup. Sinar mentari pagi yang menyorot bumi tak sanggup menerangi hatiku yang tertutup kabut hitam kepedihan.

”Sudahlah, pulang saja kamu!” Teriak teman – teman Rani bersamaan. Menampakkan wajah kebencian kepadaku.

Dengan menahan kepedihan aku melangkahkan kakiku menuju ruang kelas, aku tahu beberapa saat lagi bell masuk.
Ruang kelas tampak ramai, banyak anak – anak yang lain berlalu lalang, bercanda tawa. Seketika senyap ketika aku mulai masuk ke dalam. Mereka menatapku diam. Sorot mata mereka menandakan ketidaktulusan jika aku berada di tengah – tengah mereka. Ya, aku menyadari hal itu. Aku terus menuju sudut kelas yang paling ujung. Di situlah tempat dudukku. Mereka sengaja memberikan aku tempat duduk yang paling belakang. Mereka menganggap aku tidak pantas duduk di bangku depan maupun tengah. Mereka semua juga tidak pernah menganggap keberadaanku di kelas ini. Tidak apa – apa, aku sudah terbiasa di perlakukan seperti ini.

”Tett... tett... ”

Bell masuk telah berbunyi. Semua anak – anak yang berada di luar mulai memasuki ruang kelas V. Begitu juga Rani dan teman – temanya yang sombong itu. Di antara mereka, Rani lah anak orang yang paling kaya.
Rani duduk di bangku depan sendiri di sisi kanan kelas. Tepat berhadapan dengan meja guru. Tak begitu lama, bu guru juga tiba di kelas seraya mengucap salam kepada kami.

”Selamat pagi, anak – anak!”.
”Selamat pagi, bu!” Balas kami semua.

Bu guru menanyakan pekerjaan rumah (PR) kami yang ia berikan beberapa hari yang lalu dan meminta untuk mengumpulkanya ke depan meja guru.

”Pr nya sudah di kerjakan, anak – anak? Ayo silahkan di kumpulkan di meja sini!’

Segeralah aku dan teman – teman yang sudah mengerjakan menyerahkan dan menaruhnya di meja guru. Sementara Rani terlihat panik. Wajahnya nampak kebingungan. Mungkin Rani belum mengerjakan Pr nya. Pikirku dalam hati. Semua tugas sudah di kumpulkan. Bu guru dengan segera mengechek dan menghitungnya sekilas.

”Rani, mana pr kamu? Silahkan di kumpulkan!”
”Emm... maaf, bu. Saya lupa belum mengerjakan.” Jawab Rani dengan raut wajah takut campur malu. Tanganya sibuk dengan bando warna biru di rambutnya.
”Ini terakhir lo, jika kamu tidak mengumpulkannya, kamu tidak akan dapat nilai dan ini akan mempengaruhi nilai kenaikan kelas kamu.” Jelas bu guru.
”Begini saja, ibu kasih waktu sampai nanti siang jam pulang sekolah.” Lanjut bu guru.
”Iya, bu.” Ucap Rani mengangguk mengerti. Namun wajahnya tetap judes.
Kemudian bu guru memberi pelajaran kepada kami menulis. Pelajaran saat ini adalah bahasa indonesia, Bu guru menyuruh kami membuat kalimat SPOK. Aku mengeluarkan buku tulis beserta pensilku. Aku mencari lembaran – lembaran yang kosong.  Namun tak aku dapati. Aku tidak menyadari kalau bukuku sudah penuh. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Itu adalah buku tulisku satu – satunya yang di belikan ayah. Aku tidak punya uang untuk membeli buku baru di koperasi sekolah. Aku hanya duduk diam sambil memainkan pensilku. Sesekali ku lirik kanan kiri, semua teman – teman sedang menulis.

”Anum! Kenapa kamu tidak menulis?” Tanya bu guru mengagetkanku.
Dengan malu – malu aku menjawab.
”Buku saya sudah penuh, bu.”
”Apa kamu tidak punya buku yang lain untuk menulis?” Tanya bu guru lagi.
”Ini buku satu – satunya yang saya punya, bu.” Jawabku menjelaskan.
Sontak murid – murid yang lain menatap ke arahku.

”Murid yang tidak menulis di suruh keluar saja, bu!” Ketus Rani.
”Diam, Rani. Jangan bicara kamu!” Perintah bu guru bermaksud menghentikan ejekkan Rani kepadaku.
”Baiklah, Anum. Kamu akan tetap bisa menulis.”

Bu guru mengambil dua lembaran kertas kosong dari dalam tasnya dan memberikanya kepadaku.

”Terimaksih, bu.” Ucapku singkat.
”Ayo, anak – anak! Silahkan di kerjakan kembali!” Lanjut bu guru.

Bu guru Latifah selain muda, cantik dan kalem, beliau punya hati yang baik. Termasuk yang baru saja ia lakukan kepadaku.
Di tengah aku menghadapi kesedihan karena kebencian teman – teman ku di sekolahan, ternyata masih ada orang yang baik kepadaku. Tapi entahlah, akun masih belum percaya sepenuhnya. Mungkin saja bu guru bersikap seperti itu karena layaknya seorang guru terhadap muridnya. Tapi aku senang. Aku merasa ada yang mengakui keberadaanku di sekolah ini. Ini sedikit mengobati kepedihanku.
Aku melanjutkan menulis hingga akhirnya jam pelajaran telah usai dan bell istirahat telah berbunyi. Seperti biasanya, suasana sekolahan ketika jam istirahat. Ada anak – anak yang makan di kantin. Ada sekumpulan anak yang bergerombol duduk – duduk di taman sekolah. Ada yang bermain, bercanda bersama. Aku melihat mereka semua bahagia. Tiada raut wajah kesedihan seperti yang aku rasakan selama ini. Mereka sangat gembira. Aku berpikir, mereka merasakan masa anak – anak sekolah yang sebenarnya. Sementara aku berdiri diam menyender di pentu kelas hanya sendirian. Tiada satu pun teman yang mengajakku bicara, bermain bahkan aku tidak punya teman yang akrab denganku. Kenapa sebenarnya dengan aku? Usiaku yang sekecil ini belum juga mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Apakah karena aku ini adalah anak orang miskin? Sehingga mereka membenciku dan tidak pantas untuk di jadikan teman? Apakah salah jika aku hidup miskin? Apakah salah jika orang miskin sepertiku mengejar cita – cita? Hatiku terus bertanya – tanya. Yang tidak tahu dimana akau harus menemukan jawabanya.

”Anum!” Bu guru Latifah memanggilku dari kejauhan. Berjalan mendekatiku. Menbangunkan lamunanku sesaat. Aku menoleh dan menjawab panggilan itu. ”Iya, bu”. Ayo ikut ibu ke kantor, ada hal yang ingin ibu sampaikan kepadamu.” Tutur bu guru Latifah sembari memegang tanganku dan mengajakku berjalan menuju ruang kantor. Aku bingung ada apa ini. Pikirku. Bu guru mempersilahkan aku duduk, sementara ia menyampaikan sesuatu kepada bu guru yang lain.

”Anum sudah berada di ruangan kantor, bu Hamidah.” Tak lama bu guru Hamidah duduk di kursi dan kami saling berhadapan di antara meja.
”Anum.” Panggil bu Hamidah.
”Iya, bu.” Jawabku dengan santun dan penuh hormat,
”Ini ada surat untuk kedua orang tua kamu. Surat ini aku titipkan kepadamu. Tolong nanti di sampaikan ya.” Tutur bu Hamidah penuh kepercayaan kepadaku.
Diserahkannya surat yang terbungkus amplop bewarna putih itu kepadaku.
”Baiklah, Anum terimakasih. Silahkan kembali ke luar.” Suruh bu Hamidah.
”Iya, bu.” Begitu ucapku. Aku segera keluar dari ruangan kantor dengan di bayangi rasa penasaran. Surat apa yang di titipkan bu Hamidah untuk orang tua ku.
Aku langsung menuju kelas yang memang sepi. Murid – murid berada di luar karena masih jam istirahat. Bermaksud menyimpan surat ini ke dalam tasku. Namun, aku malah duduk di bangku. Termennung sejenak. Aku sangat penasaran dengan surat ini. Tanpa pikir panjang, aku putuskan untuk membuka surat ini. Ya, aku membukannya dan membacanya dalam hati.

”Di mohon Bpk/Ibu wali murid atas nama Siti Anum Nirmala segera melunasi biaya pembayaran sekolah selama 4 bulan yang belum terbayar. Dalam waktu yang di tentukan jika belum melunasi pembayaran tersebut, dengan sangat hormat kami akan memberhentikan proses belajar murid yang bersangkutan.
Mohon Bpk/Ibu wali murid di pertimbangkan sebaik- baiknya.”

Begitulah penggalan isi surat itu. Seketika aku diam terpaku. Pipiku terasa hangat. Butiran butiran mutiara mulai terjatuh dari mataku. Hatiku bagai di remas – remas.
Aku sangat terpukul. Ya, aku memang belum membayar uang sekolahku selama 4 bulan. Ayah ibuku belum memberikan uang kepadaku untuk membayar biaya sekolahku. Aku menyadari hal ini karena kami bukan keluarga yang berkecukupan.
Beruntung kami punya rumah kecil. Sebagai tempat berteduh kala terik matahari dan dinginya angin malam menyerang bumi. Walaupun dindingnya terbuat dari anyaman bambu, itu sudah cukup bagi kami. Pekerjaan orang tua ku yang hanya serabutan upahnya pun tidak tentu. Untuk kebutuhan makan sehari – hari saja kami kesulitan. Tidak jarang kami makan nasi dan garam saja.
Segera aku mengusap air mataku. Menyahut tas ku. Aku berlari keluar kelas dan pulang menuju rumahku. Aku sudah tidak peduli dengan jalanan setapak, menanjak, panjang dan berliku. Aku tidak peduli. Terus saja aku berlari. Jantungku berdegup kencang menandakan kekecewaan yang mendalam. Air mata ini tak juga berhenti membasahi pipi lembutku. Mengiringi langkah kakiku sepanjang jalan.

”Ayah, ibu!” Panggilku di depan pintu rumah.
”Anum, kamu sudah pulang nak. Biasanya jam segini kamu belum pulang. Ada apa, Anum?” Tanya ibuku terkejut menyambut kedatanganku pulang cepat tak seperti hari biasanya.
”Matamu nampak merah, Anum. Apa yang terjadi denganmu?” Lanjut ibu sembari membelai lembut pipiku dengan jemarinya. Ia menatapku. Kekhawatiran dari matanya amat ku lihat. Aku hanya membisu. Ibu memelukku dan mengajakku duduk di kursi kayu bilik rumah kami. Sangat kurasakan pelukkan seorang ibu yang penuh kasih sayang kepadaku. Akulah anak satu – satunya. Berlinanglah air mataku yang sempat tertahan beberapa saat. Aku tidak tega menyampaikan tentang surat yang aku bawa di dalam tas ku. Mulutku seolah terkunci ingin menyampaikannya. Ini pasti akan melukai hati mereka. Tuhan,  sebegitu berat kenyataan yang aku hadapi?

”Ayah dimana, bu?” Tanyaku lirih.
”Ayah di kebun mencari singkong. Beras kita sudah habis. Ayah belum punya uang untuk membeli beras lagi. Sabar ya, Anum. Sementara kita makan singkong dulu.”
Tutur ibu semakin membuat hatiku teriris – iris. Aku tidak punya keberanian untuk menyampakan surat dari sekolah ini kepadanya. Biarlah saja kusimpan surat ini. Akan ku urungkan dulu cita – cita ku untuk bersekolah.

Beberapa saat berlalu. Suasana sudah mulai tenang. Kulihat ayah pun  juga sudah pulang dengan membawa beberapa singkong. Di taruhnya singkong itu di dapur. Aku bicara kepada ayah dan ibuk untuk berhenti sekolah dan mereka menyetujuinya. Aku ingin membuat kue dari olahan singkong bersama ibuku. Akan ku jual kue – kue yang aku buat keliling desaku. Dengan harapan aku bisa mengumpulkan uang dan bisa melanjutkan sekolah lagi tahun depan. Kami memang keluarga yang serba kekurangan. Yang terkadang mendapat sikap dan perlakuan yang kurang pantas dari mereka – mereka yang merasa cukup di atas kami. Namun, di tengah kesulitan kehidupan kami, tak jarang ada tawa dalam kebersamaan kami. Menandakan bahwa kami masih merasa bahagia. Aku pun juga masih punya harapan. Kelak aku bisa bersekolah lagi.

Postingan terkait:

    Belum ada tanggapan untuk "Cerpen: Anum"